Rabu, 04 Mei 2016
BAB 9 JENDERAL TANPA PASUKAN
Pada 1970 ,tidak sampai 2 tahun bertugas di Irian Barat (sekarang Irian Jaya) , Mayjen Sarwo Edhie Wibowo dipindahkan ke Magelang menjadi Gubernur Akabri Umum dan Darat . Disana , pengaagum Mac Arthur dan Erwin Rommel ini tidak memliki pasukan yg langsung di bawah kepemimpinannya . Pada masa awal jabatannya , ia mengeluarkan peryataan sikap anti-Operasi Karya dan menjadi Head-Line berbagai surat kabar . Tetapi ia meralatnya dengan menyatakan yg di maksud adalah ketidaksetujuannya terhadap para militer yg menggunakan kendaraan kantor atau dinas untuk kepentingan pribadi .
BAB 8 JAUH DARI JAKARTA
Dalam menghadapi tantangan potensial PKI untuk bangkit kembali , Letjen Soeharto menggunakan tindakan-tindakan yg tidak kenal belas kasihan dan sering kasar . Tetapi dalam mengonsolidasi penguasaannya atas angkatan bersenjata ia bergerak selangkah demi selangkah terhadap kelompok lawan yg datang secara bergantian . Sesudah berhasil menguasai MBAD pada akhir 1965 , ia memusatkan perhatian melawan musuh-musuh potensialnya di antara para pangdam selama 1966 . Ia berhasil menyenangkan Jen AH Nasution dengan mendudukkannya di suatu kedudukan sipil terkemuka meskipun relatif tak berdaya . Beberapa perwira selebihnya yg memegang jabatan-jabatan senior di bawah Letjen Achmad Jani (alm) segera di ganti .
BAB 7 MENURUNKAN PRESIDEN SOEKARNO
Tindakan Letjen Soeharto telah menjebak para pendukung Presiden Soekarno dalam keadaan tak berdaya untuk berbuat sesuatu membelanya . Surat Perintah 11 Maret 1966 dibuat tanpa persetujuan para panglima AL , AU , Kepolisian dan kelompok Soekarnois di kalangan tentara . Tetapi Soekarno telah membubuhkan tanda tangannya dan mereka tak kuasa untuk menolak . Perintah Soeharto untuk membubarkan PKI telah menempatkan para pendukung Soekarno di kalangan militer dalam keadaan serba canggung . Mereka mengetahui perintah itu meruntuhkan kewibawaan Soekarno . Tetapi mereka tidak menaruh simpati kepada PKI dan tidak mau menempatkan diri sebagai pembela partai itu . Dengan demikian , mereka tak merasa perlu untuk mengambil sikap mendukung Soekarno melawan Soeharto .
BAB 6 DARI TRITURA MENUJU SUPERSEMAR
Sejak awal Oktober 1965 , kelompok mahasiswa antikomunis mencari cara untuk ikut bersuara dalam gelombang tuduhan umum terhadap PKI karena diduga kuat berperan dalam percobaan kudeta yg gagal . Beberapa aktivis mahasiswa menghadiri rapat umum KAP-Gestapu dan menandatangani pernyataan atas nama organisasi mereka . Tetapi PPMI , badan dan forum tertinggi di luar universitas yg telah menjadi pusat perdebatan politik mahasiswa pada masa Demokrasi Terpimpin , tetap tak bersuara mengenai persoalan itu .
BAB 5 KILAS BALIK SANG KOMANDAN
Sarwo Edhie Wibowo lahir di Purworejo , Jawa Tengah , Sabtu Pon 25 Juli 1925 . Ia anak bungsu dari 4 bersaudara keluarga Kepala Rumah Gadai Purworejo R Kartowilogo . Dalam diri ayahnya mengalir darah bangsawan dan pejuang yang gigih melawan penjajahan Belanda . Jika ditarik dari garis keturunan yang terputus hingga beberapa tokoh besar , maka akhirnya sampai kepada Prabu Broto Kusumo yang memimpin kerajaan Banyu Urip yg menurunkan Eyang Dipo Sentiko dan R Kartowilogo .
BAB 4 MENUMPAS PENDUKUNG G-30-S
Jawa Tengah merupakan pusat kegiatan komunis di Indonesia . RRI di Semarang , Yogyakarta , dan Surakarta menyiarkan pengumuman G-30-S . dewan Revolusi Daerah dibentuk . Wallikota Surakarta yg komunis menyatakan dukungannya terhadap pembunuhan para jenderal AD . Di Yogyakarta , orang-orang PKI segera turun ke jalan-jalan memberi dukungan terhadap G-30-S . Sementara itu di Semarang , orang PKI mengambil alih pimpinan Kodam Diponegoro .
Rabu, 27 April 2016
Contoh Kata Serapan Bahasa Asing ke Bahasa Indonesia
- agronomy==>> agronomi
- allergy==>> alergi
- alliance==>> aliansi
- apartment==>> apartemen
- application==>> aplikasi
- ballpoint==>> bolpen
- balloon==>> balon
- business==>> bisnis
- book==>> buku
- bus==>> bus
- cartoon==>> kartun
- career==>> karier
- casette==>> kaset
- catering==>> katering
- charismatic==>> karismatik
- data==>> data
- decade==>> dekade
- department==>> departemen
- depression==>> depresi
- detection==>> deteksi
- exist==>> eksis
- expansion==>> ekspansi
- exploration ==>> eksplorasi
- export==>> ekspor
- expose==>> ekspos
- glass==>> gelas
- game==>> gim
- generalization==>> generalisasi
- genetic==>> genetik
- glamour==>> glamor
- hydrogen==>> hidrogen
- helmet==>> helm
- homophone==>> homofon
- homograph==>> homograf
- homonym==>> homonim
- ice==>> es
- idol==>> idola
- infrastructure==>> infrastuktur
- illegal==>> ilegal
- imperialist==>> imperialis
- lamp==>> lampu
- lamination==>> laminasi
- landscape==>> lanskap
- lasso==>> laso
- legislative==>> legislatif
- mall==>> mal
- malpractice==>> malapraktik
- malfunction==>> malafungsi
- malabsorption==>> malabsorpsi
- maladaption==>> malapraktik
Selasa, 22 Maret 2016
BAB 2
Dituliskan lebih lanjut, betapa rasa haru muncul. Meski Sarwo tak meminta maaf, bagi Ilham, perbincangan terakhirnya dengan Sarwo merupakan bentuk rekonsiliasi antara pelaku dan keluarga korban. “Seorang jenderal dalam perenungannya selama belasan tahun mengakui bahwa apa yang dilakukan negara ketika itu salah”.
Tentu sungguh sulit untuk mengetahui kebenaran cerita melankolis yang sangat menakjubkan ini. Selain Ilham Aidit dan Sarwo Edhie, hanya Dia yang di atas yang mengetahui kebenaran melodrama itu. Sungguh sayang, sang jenderal telah tiada sebelum cerita ini muncul.
Apakah Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo mengalami perubahan sikap mengenai peristiwa di tahun 1965-1966, menjadi seorang yang menyesali diri dan menyesali negara?
Tahun 1985, sekitar dua tahun setelah kisah melankolis 1983 itu, dalam wawancara denganMedia Karya (September 1985), sang jenderal sedikitpun tak menunjukkan tanda-tanda melankolis. Meskipun PKI telah dibubarkan, kata Letnan Jenderal Sarwo Edhie, “sewaktu-waktu bisa timbul lagi, bila keadaan memungkinkan”. Harus waspada terhadap kader-kadernya yang tak terlihat di permukaan. “Apabila terjadi konfik dalam masyarakat, apapun wujudnya, mereka akan menunggangi dan membesar-besarkan. Bila pemerintah misalnya terus menerus disudutkan, nantinya kehilangan muka dan dukungan. Yang tampil mungkin saja bukan Partai Komunis, tetapi aliran komunis. Inilah yang kita sebut bahaya laten, bahaya terpendam yang sewaktu-waktu bisa muncul”.
Lalu dua tahun kemudian, 1 Oktober 1987, Sarwo Edhie Wibowo kembali mengingatkan bahwa “para pendukung PKI tidak akan pernah jera dalam mengejar cita-cita mereka mengkomuniskan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kesadaran akan bahaya komunis sebaiknya tidak boleh kendor kapan saja”.
Kesangsian. Jadi, susah membayangkan, bahwa Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, pernah kendor sejenak dan menjadi begitu sentimental di tahun 1983. Satu-satunya rasa sangsi yang pernah kemudian diutarakan sang jenderal –kepada sejumlah Manggala BP-7– adalah mengenai taktik Soeharto untuk sedikit mengulur waktu bertindak pada 30 September malam menuju 1 Oktober 1965, sehingga Letnan Jenderal Ahmad Yani tak terselamatkan. Padahal, Jenderal Soeharto telah mendapat sejumlah informasi, antara lain dari Kolonel Latief yang termasuk dalam kelompok pelaku peristiwa, akan adanya gerakan dengan sasaran sejumlah jenderal teras Angkatan Darat.
Dalam catatan dan analisa akhir buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’, terdapat pemaparan berikut ini.
Di antara semua rangkaian peristiwa, mungkin gerakan yang dilakukan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto –yang banyak tahu namun tak segera bertindak, tapi menunggu sampai korban jatuh– adalah yang paling di luar dugaan siapa pun. Di luar perkiraan Letnan Kolonel Untung, di luar perkiraan Kolonel Latief maupun Brigjen Soepardjo. Bagi para perwira Gerakan 30 September ini, Soeharto bukan ‘lingkaran luar’, karena peranannya mendatangkan Batalion 454 dan Batalion 530. Setidaknya, sesuai ‘laporan’ Kolonel Latief, Soeharto digolongkan sebagai perwira yang tak akan ikut campur bila gerakan terjadi. Bagi Soekarno pun, kemunculan Soeharto dalam satu peran pada 1 Oktober 1965, adalah surprise. Begitu pula bagi para panglima angkatan yang ada.
Bahkan bagi Kolonel Sarwo Edhie –yang dikenal sebagai perwira yang dekat dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani– pada mulanya Mayjen Soeharto adalah tokoh yang ‘meragukan’, setidaknya perlu ‘ditelusuri’ lebih dahulu. Maka ia tak segera memenuhi panggilan Soeharto 1 Oktober 1965 pagi, apalagi ia tak mengenal Herman Sarens Soediro yang diutus Soeharto kepadanya. Kelak di kemudian hari, beberapa puluh tahun setelah peristiwa berlalu, Sarwo sesekali mencetuskan ‘keraguan’ tentang peran Soeharto yang sesungguhnya, yang diucapkan secara terbatas kepada kalangan terbatas. Sarwo tampaknya melihat adanya bagian-bagian artifisial dalam catatan ‘sejarah’ versi Soeharto, namun Sarwo telah ‘terikat’ pula oleh versi rezim pemerintahan Soeharto yang telah terlanjur diposisikan secara kuat dalam memori masyarakat selama puluhan tahun. Dilema –dan kesangsian– serupa agaknya dihadapi oleh sejumlah jenderal terkemuka yang ikut berperan di sekitar peristiwa 1965-1966 selain Sarwo Edhie, seperti misalnya Muhammad Jusuf, Hartono Rekso Dharsono ataupun Kemal Idris, meskipun dengan alasan dan ‘pemaknaan’ berbeda-beda satu sama lain.
Secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chairul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu. Tampaknya, ‘teori dalang’ atau yang semacamnya dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 ini, harus ditinggalkan.
BAB 3 MENUMPAS G-30-S-PKI
PERGOLAKAN politik dan kekuasaan tahun1965-1966, telah menempatkan Kolonel –kemudian menjadi jenderal– Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang dipimpinnya berada dalam fokus sorotan perhatian. Selama setidaknya dua puluh empat tahun, hingga akhir hayatnya 9 November 1989, sepenuhnya ia dikagumi sebagai pahlawan penyelamat Indonesia karena berhasil menumpas Gerakan 30 September 1965. Dan untuk beberapa lama setelahnya, searah jarum jam, ia tetap dikenang sebagai seorang jenderal idealis di tengah pergulatan kekuasaan. Dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 itu, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo digambarkan dalam pengibaratan bagaikan anak panah yang melesat dari balik tabir blessing in disguise yang menghadirkan satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Namun anak panah ini kemudian disingkirkan agar tak mengganggu kelanjutan jalannya kekuasaan yang telah berubah dari jalur idealisme awal saat kekuasaan diktatorial Soekarno diakhiri.
JENDERAL SOEHARTO DAN KOLONEL SARWO EDHIE WIBOWO. “Secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chaerul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu”. (foto download).
Namun belakangan ini, nama Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo –justru setelah almarhum– kembali diletakkan di pusat sorotan, terkait Peristiwa 30 September 1965. Kali ini, dalam arah melawan jarum jam, ia digambarkan menjalankan suatu peran berdarah, khususnya pada masa epilog Peristiwa 30 September 1965. Ketika bandul penulisan tentang peristiwa tahun 1965 itu berayun terlalu ke kiri, pasca Soeharto, perannya sebagai komandan satuan pembasmi PKI dan para pengikutnya, tahun 1965-1966 diungkapkan dalam konotasi kejahatan kemanusiaan.
Benarkah sang jenderal pujaan kalangan perjuangan tahun 1966 itu, terlibat dalam dosa kejahatan kemanusiaan bersama pasukan RPKAD (kini Kopassus), berupa pembunuhan-pembunuhan massal setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965? Kalau bukan sebagai pelaku langsung, berperan sebagai penganjur dan atau setidak-tidaknya melakukan pembiaran. Beberapa buku dan tulisan di berbagai media memberikan pemaparan tentang jejak berdarah sang jenderal. Sayangnya, Sarwo Edhie Wibowo tak bisa menanggapi, karena semua sorotan itu diluncurkan setelah sang jenderal meninggal.
Kisah melankolis di kawah Tangkuban Prahu. Salah satu putera DN Aidit, Ilham Aidit, lebih dari satu kali bercerita kepada sejumlah media, bahwa Letnan Jenderal Sarwo Edhie pernah menyampaikan semacam penyesalan –yang setara dengan suatu pengakuan– tentang tugas negara yang dipikulnya di masa lampau namun kemudian diakuinya merupakan kekeliruan negara. Salah satu di antaranya, kepada Tempo 13 November 2011, ia menceritakan dua kali bertemu Jenderal Sarwo Edhie, pertama Februari 1981, lalu yang kedua di tahun 1983. Dua-duanya dalam acara kelompok pencinta alam Wanadri, di tempat yang juga sama, Kawah Upas Tangkuban Prahu di utara Lembang Jawa Barat.
Dalam pertemuan kedua di tahun 1983, setelah berjabat tangan, menurut cerita Ilham, sang jenderal mengajaknya ke tempat sepi untuk bicara empat mata. Usai mendengar cerita Ilham tentang ibundanya yang sudah lepas dari penahanan, Sarwo diam, dengan tatapan mata yang beralih ke tempat lain. Lalu Sarwo bersuara sedikit bergetar. “Ya, ketika itu adalah tugas negara yang dibebankan pada saya, dan saat itu saya yakin apa yang saya lakukan adalah benar. Tapi, berbelas tahun kemudian, saya pikir apa yang dilakukan negara ketika itu adalah keliru”, demikian kalimat sang jenderal yang dikutip Ilham. “Kamu bisa memahaminya, kan?”. Ilham diam sejenak. “Ya, pak Sarwo. Saya bisa memahaminya”. Sarwo menjabat tangan Ilham. Tangan kanannya masih memegang tangan Ilham. Lalu Sarwo merengkuh Ilham sekitar lima detik. Tangan kirinya menepuk-nepuk punggung Ilham.
Rabu, 16 Maret 2016
SARWO EDHIE dan TRAGEDI 1965 Karya PETER KASENDA
SARWO
EDHIE dan TRAGEDI 1965
Karya
PETER
KASENDA
BAB
1
PENDAHULUAN
Pada
dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Men/Pangad Letjen Achmad Jani dan 5 orang
staf umumnya di culik dari rumah rumah mereka di Jakarta dan di bawa dengan
truk ke area perkebunan di Lubang Buaya . Para penculik membunuh Achmad Jani
dan 2 jenderal lainnyapada saat penangkapan berlangsung . Tiba di areal
perkebunan beberapa saat kemudian pada pagi hari itu , mereka membunuh 3
jenderal lainnya dan melempar 6 jasad mereka ke sebuah sumur mati . Seorang letnan yg salah tangkap dari rumah
jenderal ketujuh yg lolos dari penculikan , menemui nasib di lempar ke dasar
sumur yg sama .
Pagi
hari itu juga , orang orang di balik peristiwa pembunuhan inipun menduduki
stasiun RRI dan menyatakan diri sebagai anggota pasukan yg setia kepada
Presiden Soekarno . Tujuan aksi mereka untuk melindungi Soekarno dari komplotan
jenderal kanan yg akan melancarkan kudeta . Mereka menyebut nama pimpinannya
Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa Letkol Untung yg bertanggung
jawab mengawal Soekarno dan menamai gerakan mereka G-30-S . Dalam sebuah unjuk
kekuatan , ratusan prajurit pendukung G-30-S menduduki Lapangan Merdeka
(sekarang Lapangan Monas) . Lalu pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 ,
seperti menanggapi isyarat dari Jakarta , beberapa pasukan di Jawa Tengah
menculik 5 perwira pimpinan mereka .
Kesulitan
memahami G-30-S karena gerakan tersebut sudah kalah sebelum kebanyakan orang
Indonesia mengetahui keberadaannya . G-30-S tumbang secepat kemunculannya .
Dengan tidak adanya Men/Pangad Letjen Achmad Jani , Pangkostrad Mayjen Soeharto
mengambil alih komando AD pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 dan melancarkan
serangan balik pada sore harinya . Pasukan G-30-S meninggalkan stasiun RRI dan
Lapangan Merdeka yg sempat mereka duduki selama 12 jam saja . Semua pasukan
pemberontak akhirnya ditangkap atau melarikan diri dari Jakarta pada pagi hari
tanggal 2 Oktober 1965 . Di Jawa Tengah , G-30-S hanya bertahan sampai tanggal
3 Oktober 1965 dan lenyap sebelum sempat menjelaskan tujuan mereka kepada
public , bahkan pimpinannya belum sempat mengadan konferensi pers dan tampil
memperlihatkan diri di depan kamera pada fotografer .
G-30-S
menyatakan aksi aksi mereka melawan para jenderal untuk menjamin keselamatan
Presiden Soekarno . Tetapi persetujuan Soekarno terhadap aksi aksi tersebut
menjadi masalah dalam rencana itu . Rupanya mereka bermaksud menahan 7 jenderal
itu , kemudian melaporkannya kepada Soekarno dengan harapan ia akan menyatakan
terima kasihnya . Dengan demikian gerakan tersebut dapat diterima dalam
lingkungan AD sendiri dan daerah daerah di luar Jakarta . Dengan perlindungan
Soekarno , kepemimpinannya AD akan terpaksa menerima kenyataan karena tidak
punya pilihan lain .
Bukti bukti di Mahmilub menimbulkan kesan para anggota
komplotan itu tidak merencanakan pembunuhan para jenderal . Sjam Kamaruzaman
dalam sidang perkaranya mengemukakan tujuannya adalah menahan para jenderal itu
lalu menyerahkannya kepada Dewan Revolusi yg akan menyelidiki rencana kudeta
mereka . Sebagai komnadan militer dalam komplotan itu , Letkol Untung
bertanggung jawab atas rencana dan pelaksanaan penculikan para jenderal . Dalam
sidang perkaranya , ia menyangkal telah memerintahkan pembunuhan . Tetapi ia
mengakui telah menginstruksikan Komandan Pasopati Lettu Dul Arief yg memimpin
penyergapan ke rumah rumah para jenderal tidak seorang pun dibiarkan lolos .
Beberapa anggota pasukan penyergap ini menyatakan Dul Arief memerintahkan
mereka untuk mengambil para jenderal iti “hidup atau mati” . Dalam peristiwa
itu , 3 jenderal termasuk Achmad Jani melawan dan dibunuh di rumah masing
masing . Sedangkan yg lainnya di bawa hidup hidup ke Lubang Buaya .
Mengutip Ulf Sundhaussen , pembunuhan para jenderal
terkemuka itu merupakan peristiwa yg luar biasa dan tidak konsisten dengan kaum
pembangkang dalam tentara . Peristiwa itu untuk pertama kalinya memasukkan
tingkat kekerasan yg sama sekali baru ke dalam dunia politik di Jakarta .
Pertanyaannya adalah bagaimana peristiwa peristiwa itu sampai bisa terjadi ?
Argumen yg di kemukakan AD tingkat fanatisme di pihak perilaku G-30-S akibat
dari indoktrinasi PKI yg mendalanginya .
Ungkapan Belanda EENMALIG digunakan untuk melukiskan
sesuatu yg terjadi hanya sekali . Setiap orang harus siap untuk muncul dalam
panggung sejarah pada waktu dan saat yg tepat . Ungkapan tersebut cocok untuk
melukiskan sosok Sarwo Edhie Wibowo dalam panggung sejarah , khususnya dalam
hari hari panjang penumpasan G-30-S dan menegakkan Orde Baru .
Kol Sarwo Edhie Wibowo tidak mempunyai
pasukan yg cukup banyak . Terpaksa para prajurit staf yg belum memiliki
kualifikasi sebagai pasukan Baret Merah segera di beri pakaian tempur loreng
loreng berikut baret . Tujuannya untuk memberikan kejutan pada lawannya .
Popularitas Kol Sarwo Edhie Wibowo yg meroket di tengah pergolakan politik mengusik Mayjen Soeharto . Ia pun di singkirkan dari pusaran kekuasaan dan di beri jabatan Pangdam Bukit Barisan .
Langganan:
Postingan (Atom)