PERGOLAKAN politik dan kekuasaan tahun1965-1966, telah menempatkan Kolonel –kemudian menjadi jenderal– Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang dipimpinnya berada dalam fokus sorotan perhatian. Selama setidaknya dua puluh empat tahun, hingga akhir hayatnya 9 November 1989, sepenuhnya ia dikagumi sebagai pahlawan penyelamat Indonesia karena berhasil menumpas Gerakan 30 September 1965. Dan untuk beberapa lama setelahnya, searah jarum jam, ia tetap dikenang sebagai seorang jenderal idealis di tengah pergulatan kekuasaan. Dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 itu, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo digambarkan dalam pengibaratan bagaikan anak panah yang melesat dari balik tabir blessing in disguise yang menghadirkan satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Namun anak panah ini kemudian disingkirkan agar tak mengganggu kelanjutan jalannya kekuasaan yang telah berubah dari jalur idealisme awal saat kekuasaan diktatorial Soekarno diakhiri.
JENDERAL SOEHARTO DAN KOLONEL SARWO EDHIE WIBOWO. “Secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chaerul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu”. (foto download).
Namun belakangan ini, nama Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo –justru setelah almarhum– kembali diletakkan di pusat sorotan, terkait Peristiwa 30 September 1965. Kali ini, dalam arah melawan jarum jam, ia digambarkan menjalankan suatu peran berdarah, khususnya pada masa epilog Peristiwa 30 September 1965. Ketika bandul penulisan tentang peristiwa tahun 1965 itu berayun terlalu ke kiri, pasca Soeharto, perannya sebagai komandan satuan pembasmi PKI dan para pengikutnya, tahun 1965-1966 diungkapkan dalam konotasi kejahatan kemanusiaan.
Benarkah sang jenderal pujaan kalangan perjuangan tahun 1966 itu, terlibat dalam dosa kejahatan kemanusiaan bersama pasukan RPKAD (kini Kopassus), berupa pembunuhan-pembunuhan massal setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965? Kalau bukan sebagai pelaku langsung, berperan sebagai penganjur dan atau setidak-tidaknya melakukan pembiaran. Beberapa buku dan tulisan di berbagai media memberikan pemaparan tentang jejak berdarah sang jenderal. Sayangnya, Sarwo Edhie Wibowo tak bisa menanggapi, karena semua sorotan itu diluncurkan setelah sang jenderal meninggal.
Kisah melankolis di kawah Tangkuban Prahu. Salah satu putera DN Aidit, Ilham Aidit, lebih dari satu kali bercerita kepada sejumlah media, bahwa Letnan Jenderal Sarwo Edhie pernah menyampaikan semacam penyesalan –yang setara dengan suatu pengakuan– tentang tugas negara yang dipikulnya di masa lampau namun kemudian diakuinya merupakan kekeliruan negara. Salah satu di antaranya, kepada Tempo 13 November 2011, ia menceritakan dua kali bertemu Jenderal Sarwo Edhie, pertama Februari 1981, lalu yang kedua di tahun 1983. Dua-duanya dalam acara kelompok pencinta alam Wanadri, di tempat yang juga sama, Kawah Upas Tangkuban Prahu di utara Lembang Jawa Barat.
Dalam pertemuan kedua di tahun 1983, setelah berjabat tangan, menurut cerita Ilham, sang jenderal mengajaknya ke tempat sepi untuk bicara empat mata. Usai mendengar cerita Ilham tentang ibundanya yang sudah lepas dari penahanan, Sarwo diam, dengan tatapan mata yang beralih ke tempat lain. Lalu Sarwo bersuara sedikit bergetar. “Ya, ketika itu adalah tugas negara yang dibebankan pada saya, dan saat itu saya yakin apa yang saya lakukan adalah benar. Tapi, berbelas tahun kemudian, saya pikir apa yang dilakukan negara ketika itu adalah keliru”, demikian kalimat sang jenderal yang dikutip Ilham. “Kamu bisa memahaminya, kan?”. Ilham diam sejenak. “Ya, pak Sarwo. Saya bisa memahaminya”. Sarwo menjabat tangan Ilham. Tangan kanannya masih memegang tangan Ilham. Lalu Sarwo merengkuh Ilham sekitar lima detik. Tangan kirinya menepuk-nepuk punggung Ilham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar