Selasa, 22 Maret 2016

BAB 2

Dituliskan lebih lanjut, betapa rasa haru muncul. Meski Sarwo tak meminta maaf, bagi Ilham, perbincangan terakhirnya dengan Sarwo merupakan bentuk rekonsiliasi antara pelaku dan keluarga korban. “Seorang jenderal dalam perenungannya selama belasan tahun mengakui bahwa apa yang dilakukan negara ketika itu salah”.
Tentu sungguh sulit untuk mengetahui kebenaran cerita melankolis yang sangat menakjubkan ini. Selain Ilham Aidit dan Sarwo Edhie, hanya Dia yang di atas yang mengetahui kebenaran melodrama itu. Sungguh sayang, sang jenderal telah tiada sebelum cerita ini muncul.
Apakah Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo mengalami perubahan sikap mengenai peristiwa di tahun 1965-1966, menjadi seorang yang menyesali diri dan menyesali negara?
Tahun 1985, sekitar dua tahun setelah kisah melankolis 1983 itu, dalam wawancara denganMedia Karya (September 1985), sang jenderal sedikitpun tak menunjukkan tanda-tanda melankolis. Meskipun PKI telah dibubarkan, kata Letnan Jenderal Sarwo Edhie, “sewaktu-waktu bisa timbul lagi, bila keadaan memungkinkan”. Harus waspada terhadap kader-kadernya yang tak terlihat di permukaan. “Apabila terjadi konfik dalam masyarakat, apapun wujudnya, mereka akan menunggangi dan membesar-besarkan. Bila pemerintah misalnya terus menerus disudutkan, nantinya kehilangan muka dan dukungan. Yang tampil mungkin saja bukan Partai Komunis, tetapi aliran komunis. Inilah yang kita sebut bahaya laten, bahaya terpendam yang sewaktu-waktu bisa muncul”.
Lalu dua tahun kemudian, 1 Oktober 1987, Sarwo Edhie Wibowo kembali mengingatkan bahwa “para pendukung PKI tidak akan pernah jera dalam mengejar cita-cita mereka mengkomuniskan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kesadaran akan bahaya komunis sebaiknya tidak boleh kendor kapan saja”.
Kesangsian. Jadi, susah membayangkan, bahwa Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, pernah kendor sejenak dan menjadi begitu sentimental di tahun 1983. Satu-satunya rasa sangsi yang pernah kemudian diutarakan sang jenderal –kepada sejumlah Manggala BP-7– adalah mengenai taktik Soeharto untuk sedikit mengulur waktu bertindak pada 30 September malam menuju 1 Oktober 1965, sehingga Letnan Jenderal Ahmad Yani tak terselamatkan. Padahal, Jenderal Soeharto telah mendapat sejumlah informasi, antara lain dari Kolonel Latief yang termasuk dalam kelompok pelaku peristiwa, akan adanya gerakan dengan sasaran sejumlah jenderal teras Angkatan Darat.
Dalam catatan dan analisa akhir buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’, terdapat pemaparan berikut ini.
Di antara semua rangkaian peristiwa, mungkin gerakan yang dilakukan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto –yang banyak tahu namun tak segera bertindak, tapi menunggu sampai korban jatuh– adalah yang paling di luar dugaan siapa pun. Di luar perkiraan Letnan Kolonel Untung, di luar perkiraan Kolonel Latief maupun Brigjen Soepardjo. Bagi para perwira Gerakan 30 September ini, Soeharto bukan ‘lingkaran luar’, karena peranannya mendatangkan Batalion 454 dan Batalion 530. Setidaknya, sesuai ‘laporan’ Kolonel Latief, Soeharto digolongkan sebagai perwira yang tak akan ikut campur bila gerakan terjadi. Bagi Soekarno pun, kemunculan Soeharto dalam satu peran pada 1 Oktober 1965, adalah surprise. Begitu pula bagi para panglima angkatan yang ada.
Bahkan bagi Kolonel Sarwo Edhie –yang dikenal sebagai perwira yang dekat dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani– pada mulanya Mayjen Soeharto adalah tokoh yang ‘meragukan’, setidaknya perlu ‘ditelusuri’ lebih dahulu. Maka ia tak segera memenuhi panggilan Soeharto 1 Oktober 1965 pagi, apalagi ia tak mengenal Herman Sarens Soediro yang diutus Soeharto kepadanya. Kelak di kemudian hari, beberapa puluh tahun setelah peristiwa berlalu, Sarwo sesekali mencetuskan ‘keraguan’ tentang peran Soeharto yang sesungguhnya, yang diucapkan secara terbatas kepada kalangan terbatas. Sarwo tampaknya melihat adanya bagian-bagian artifisial dalam catatan ‘sejarah’ versi Soeharto, namun Sarwo telah ‘terikat’ pula oleh versi rezim pemerintahan Soeharto yang telah terlanjur diposisikan secara kuat dalam memori masyarakat selama puluhan tahun. Dilema –dan kesangsian– serupa agaknya dihadapi oleh sejumlah jenderal terkemuka yang ikut berperan di sekitar peristiwa 1965-1966 selain Sarwo Edhie, seperti misalnya Muhammad Jusuf, Hartono Rekso Dharsono ataupun Kemal Idris, meskipun dengan alasan dan ‘pemaknaan’ berbeda-beda satu sama lain.
Secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chairul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu. Tampaknya, ‘teori dalang’ atau yang semacamnya dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 ini, harus ditinggalkan.

BAB 3 MENUMPAS G-30-S-PKI

PERGOLAKAN politik dan kekuasaan tahun1965-1966, telah menempatkan Kolonel –kemudian menjadi jenderal– Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang dipimpinnya berada dalam fokus sorotan perhatian. Selama setidaknya dua puluh empat tahun, hingga akhir hayatnya 9 November 1989, sepenuhnya ia dikagumi sebagai pahlawan penyelamat Indonesia karena berhasil menumpas Gerakan 30 September 1965. Dan untuk beberapa lama setelahnya, searah jarum jam, ia tetap dikenang sebagai seorang jenderal idealis di tengah pergulatan kekuasaan. Dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 itu, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo digambarkan dalam pengibaratan bagaikan anak panah yang melesat dari balik tabir blessing in disguise yang menghadirkan satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Namun anak panah ini kemudian disingkirkan agar tak mengganggu kelanjutan jalannya kekuasaan yang telah berubah dari jalur idealisme awal saat kekuasaan diktatorial Soekarno diakhiri.

JENDERAL SOEHARTO DAN KOLONEL SARWO EDHIE WIBOWO. “Secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chaerul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu”. (foto download).
Namun belakangan ini, nama Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo –justru setelah almarhum– kembali diletakkan di pusat sorotan, terkait Peristiwa 30 September 1965. Kali ini, dalam arah melawan jarum jam, ia digambarkan menjalankan suatu peran berdarah, khususnya pada masa epilog Peristiwa 30 September 1965. Ketika bandul penulisan tentang peristiwa tahun 1965 itu berayun terlalu ke kiri, pasca Soeharto, perannya sebagai komandan satuan pembasmi PKI dan para pengikutnya, tahun 1965-1966 diungkapkan dalam konotasi kejahatan kemanusiaan.
Benarkah sang jenderal pujaan kalangan perjuangan tahun 1966 itu, terlibat dalam dosa kejahatan kemanusiaan bersama pasukan RPKAD (kini Kopassus), berupa pembunuhan-pembunuhan massal setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965? Kalau bukan sebagai pelaku langsung, berperan sebagai penganjur dan atau setidak-tidaknya melakukan pembiaran. Beberapa buku dan tulisan di berbagai media memberikan pemaparan tentang jejak berdarah sang jenderal. Sayangnya, Sarwo Edhie Wibowo tak bisa menanggapi, karena semua sorotan itu diluncurkan setelah sang jenderal meninggal.
Kisah melankolis di kawah Tangkuban Prahu. Salah satu putera DN Aidit, Ilham Aidit, lebih dari satu kali bercerita kepada sejumlah media, bahwa Letnan Jenderal Sarwo Edhie pernah menyampaikan semacam penyesalan –yang setara dengan suatu pengakuan– tentang tugas negara yang dipikulnya di masa lampau namun kemudian diakuinya merupakan kekeliruan negara. Salah satu di antaranya, kepada Tempo 13 November 2011, ia menceritakan dua kali bertemu Jenderal Sarwo Edhie, pertama Februari 1981, lalu yang kedua di tahun 1983. Dua-duanya dalam acara kelompok pencinta alam Wanadri, di tempat yang juga sama, Kawah Upas Tangkuban Prahu di utara Lembang Jawa Barat.
Dalam pertemuan kedua di tahun 1983, setelah berjabat tangan, menurut cerita Ilham, sang jenderal mengajaknya ke tempat sepi untuk bicara empat mata. Usai mendengar cerita Ilham tentang ibundanya yang sudah lepas dari penahanan, Sarwo diam, dengan tatapan mata yang beralih ke tempat lain. Lalu Sarwo bersuara sedikit bergetar. “Ya, ketika itu adalah tugas negara yang dibebankan pada saya, dan saat itu saya yakin apa yang saya lakukan adalah benar. Tapi, berbelas tahun kemudian, saya pikir apa yang dilakukan negara ketika itu adalah keliru”, demikian kalimat sang jenderal yang dikutip Ilham. “Kamu bisa memahaminya, kan?”. Ilham diam sejenak. “Ya, pak Sarwo. Saya bisa memahaminya”. Sarwo menjabat tangan Ilham. Tangan kanannya masih memegang tangan Ilham. Lalu Sarwo merengkuh Ilham sekitar lima detik. Tangan kirinya menepuk-nepuk punggung Ilham.

Rabu, 16 Maret 2016

SARWO EDHIE dan TRAGEDI 1965 Karya PETER KASENDA







SARWO EDHIE dan TRAGEDI 1965
Karya
PETER KASENDA


BAB 1
PENDAHULUAN
Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Men/Pangad Letjen Achmad Jani dan 5 orang staf umumnya di culik dari rumah rumah mereka di Jakarta dan di bawa dengan truk ke area perkebunan di Lubang Buaya . Para penculik membunuh Achmad Jani dan 2 jenderal lainnyapada saat penangkapan berlangsung . Tiba di areal perkebunan beberapa saat kemudian pada pagi hari itu , mereka membunuh 3 jenderal lainnya dan melempar 6 jasad mereka ke sebuah sumur mati .  Seorang letnan yg salah tangkap dari rumah jenderal ketujuh yg lolos dari penculikan , menemui nasib di lempar ke dasar sumur yg sama .
Pagi hari itu juga , orang orang di balik peristiwa pembunuhan inipun menduduki stasiun RRI dan menyatakan diri sebagai anggota pasukan yg setia kepada Presiden Soekarno . Tujuan aksi mereka untuk melindungi Soekarno dari komplotan jenderal kanan yg akan melancarkan kudeta . Mereka menyebut nama pimpinannya Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa Letkol Untung yg bertanggung jawab mengawal Soekarno dan menamai gerakan mereka G-30-S . Dalam sebuah unjuk kekuatan , ratusan prajurit pendukung G-30-S menduduki Lapangan Merdeka (sekarang Lapangan Monas) . Lalu pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 , seperti menanggapi isyarat dari Jakarta , beberapa pasukan di Jawa Tengah menculik 5 perwira  pimpinan mereka .
Kesulitan memahami G-30-S karena gerakan tersebut sudah kalah sebelum kebanyakan orang Indonesia mengetahui keberadaannya . G-30-S tumbang secepat kemunculannya . Dengan tidak adanya Men/Pangad Letjen Achmad Jani , Pangkostrad Mayjen Soeharto mengambil alih komando AD pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 dan melancarkan serangan balik pada sore harinya . Pasukan G-30-S meninggalkan stasiun RRI dan Lapangan Merdeka yg sempat mereka duduki selama 12 jam saja . Semua pasukan pemberontak akhirnya ditangkap atau melarikan diri dari Jakarta pada pagi hari tanggal 2 Oktober 1965 . Di Jawa Tengah , G-30-S hanya bertahan sampai tanggal 3 Oktober 1965 dan lenyap sebelum sempat menjelaskan tujuan mereka kepada public , bahkan pimpinannya belum sempat mengadan konferensi pers dan tampil memperlihatkan diri di depan kamera pada fotografer .
G-30-S menyatakan aksi aksi mereka melawan para jenderal untuk menjamin keselamatan Presiden Soekarno . Tetapi persetujuan Soekarno terhadap aksi aksi tersebut menjadi masalah dalam rencana itu . Rupanya mereka bermaksud menahan 7 jenderal itu , kemudian melaporkannya kepada Soekarno dengan harapan ia akan menyatakan terima kasihnya . Dengan demikian gerakan tersebut dapat diterima dalam lingkungan AD sendiri dan daerah daerah di luar Jakarta . Dengan perlindungan Soekarno , kepemimpinannya AD akan terpaksa menerima kenyataan karena tidak punya pilihan lain .
Bukti bukti di Mahmilub menimbulkan kesan para anggota komplotan itu tidak merencanakan pembunuhan para jenderal . Sjam Kamaruzaman dalam sidang perkaranya mengemukakan tujuannya adalah menahan para jenderal itu lalu menyerahkannya kepada Dewan Revolusi yg akan menyelidiki rencana kudeta mereka . Sebagai komnadan militer dalam komplotan itu , Letkol Untung bertanggung jawab atas rencana dan pelaksanaan penculikan para jenderal . Dalam sidang perkaranya , ia menyangkal telah memerintahkan pembunuhan . Tetapi ia mengakui telah menginstruksikan Komandan Pasopati Lettu Dul Arief yg memimpin penyergapan ke rumah rumah para jenderal tidak seorang pun dibiarkan lolos . Beberapa anggota pasukan penyergap ini menyatakan Dul Arief memerintahkan mereka untuk mengambil para jenderal iti “hidup atau mati” . Dalam peristiwa itu , 3 jenderal termasuk Achmad Jani melawan dan dibunuh di rumah masing masing . Sedangkan yg lainnya di bawa hidup hidup ke Lubang Buaya .
Mengutip Ulf Sundhaussen , pembunuhan para jenderal terkemuka itu merupakan peristiwa yg luar biasa dan tidak konsisten dengan kaum pembangkang dalam tentara . Peristiwa itu untuk pertama kalinya memasukkan tingkat kekerasan yg sama sekali baru ke dalam dunia politik di Jakarta . Pertanyaannya adalah bagaimana peristiwa peristiwa itu sampai bisa terjadi ? Argumen yg di kemukakan AD tingkat fanatisme di pihak perilaku G-30-S akibat dari indoktrinasi PKI yg mendalanginya .
Ungkapan Belanda EENMALIG digunakan untuk melukiskan sesuatu yg terjadi hanya sekali . Setiap orang harus siap untuk muncul dalam panggung sejarah pada waktu dan saat yg tepat . Ungkapan tersebut cocok untuk melukiskan sosok Sarwo Edhie Wibowo dalam panggung sejarah , khususnya dalam hari hari panjang penumpasan G-30-S dan menegakkan Orde Baru .

Kol Sarwo Edhie Wibowo tidak mempunyai pasukan yg cukup banyak . Terpaksa para prajurit staf yg belum memiliki kualifikasi sebagai pasukan Baret Merah segera di beri pakaian tempur loreng loreng berikut baret . Tujuannya untuk memberikan kejutan pada lawannya .
Popularitas Kol Sarwo Edhie Wibowo yg meroket di tengah pergolakan politik mengusik Mayjen Soeharto . Ia pun di singkirkan dari pusaran kekuasaan dan di beri jabatan Pangdam Bukit Barisan .