Dituliskan lebih lanjut, betapa rasa haru muncul. Meski Sarwo tak meminta maaf, bagi Ilham, perbincangan terakhirnya dengan Sarwo merupakan bentuk rekonsiliasi antara pelaku dan keluarga korban. “Seorang jenderal dalam perenungannya selama belasan tahun mengakui bahwa apa yang dilakukan negara ketika itu salah”.
Tentu sungguh sulit untuk mengetahui kebenaran cerita melankolis yang sangat menakjubkan ini. Selain Ilham Aidit dan Sarwo Edhie, hanya Dia yang di atas yang mengetahui kebenaran melodrama itu. Sungguh sayang, sang jenderal telah tiada sebelum cerita ini muncul.
Apakah Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo mengalami perubahan sikap mengenai peristiwa di tahun 1965-1966, menjadi seorang yang menyesali diri dan menyesali negara?
Tahun 1985, sekitar dua tahun setelah kisah melankolis 1983 itu, dalam wawancara denganMedia Karya (September 1985), sang jenderal sedikitpun tak menunjukkan tanda-tanda melankolis. Meskipun PKI telah dibubarkan, kata Letnan Jenderal Sarwo Edhie, “sewaktu-waktu bisa timbul lagi, bila keadaan memungkinkan”. Harus waspada terhadap kader-kadernya yang tak terlihat di permukaan. “Apabila terjadi konfik dalam masyarakat, apapun wujudnya, mereka akan menunggangi dan membesar-besarkan. Bila pemerintah misalnya terus menerus disudutkan, nantinya kehilangan muka dan dukungan. Yang tampil mungkin saja bukan Partai Komunis, tetapi aliran komunis. Inilah yang kita sebut bahaya laten, bahaya terpendam yang sewaktu-waktu bisa muncul”.
Lalu dua tahun kemudian, 1 Oktober 1987, Sarwo Edhie Wibowo kembali mengingatkan bahwa “para pendukung PKI tidak akan pernah jera dalam mengejar cita-cita mereka mengkomuniskan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kesadaran akan bahaya komunis sebaiknya tidak boleh kendor kapan saja”.
Kesangsian. Jadi, susah membayangkan, bahwa Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, pernah kendor sejenak dan menjadi begitu sentimental di tahun 1983. Satu-satunya rasa sangsi yang pernah kemudian diutarakan sang jenderal –kepada sejumlah Manggala BP-7– adalah mengenai taktik Soeharto untuk sedikit mengulur waktu bertindak pada 30 September malam menuju 1 Oktober 1965, sehingga Letnan Jenderal Ahmad Yani tak terselamatkan. Padahal, Jenderal Soeharto telah mendapat sejumlah informasi, antara lain dari Kolonel Latief yang termasuk dalam kelompok pelaku peristiwa, akan adanya gerakan dengan sasaran sejumlah jenderal teras Angkatan Darat.
Dalam catatan dan analisa akhir buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’, terdapat pemaparan berikut ini.
Di antara semua rangkaian peristiwa, mungkin gerakan yang dilakukan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto –yang banyak tahu namun tak segera bertindak, tapi menunggu sampai korban jatuh– adalah yang paling di luar dugaan siapa pun. Di luar perkiraan Letnan Kolonel Untung, di luar perkiraan Kolonel Latief maupun Brigjen Soepardjo. Bagi para perwira Gerakan 30 September ini, Soeharto bukan ‘lingkaran luar’, karena peranannya mendatangkan Batalion 454 dan Batalion 530. Setidaknya, sesuai ‘laporan’ Kolonel Latief, Soeharto digolongkan sebagai perwira yang tak akan ikut campur bila gerakan terjadi. Bagi Soekarno pun, kemunculan Soeharto dalam satu peran pada 1 Oktober 1965, adalah surprise. Begitu pula bagi para panglima angkatan yang ada.
Bahkan bagi Kolonel Sarwo Edhie –yang dikenal sebagai perwira yang dekat dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani– pada mulanya Mayjen Soeharto adalah tokoh yang ‘meragukan’, setidaknya perlu ‘ditelusuri’ lebih dahulu. Maka ia tak segera memenuhi panggilan Soeharto 1 Oktober 1965 pagi, apalagi ia tak mengenal Herman Sarens Soediro yang diutus Soeharto kepadanya. Kelak di kemudian hari, beberapa puluh tahun setelah peristiwa berlalu, Sarwo sesekali mencetuskan ‘keraguan’ tentang peran Soeharto yang sesungguhnya, yang diucapkan secara terbatas kepada kalangan terbatas. Sarwo tampaknya melihat adanya bagian-bagian artifisial dalam catatan ‘sejarah’ versi Soeharto, namun Sarwo telah ‘terikat’ pula oleh versi rezim pemerintahan Soeharto yang telah terlanjur diposisikan secara kuat dalam memori masyarakat selama puluhan tahun. Dilema –dan kesangsian– serupa agaknya dihadapi oleh sejumlah jenderal terkemuka yang ikut berperan di sekitar peristiwa 1965-1966 selain Sarwo Edhie, seperti misalnya Muhammad Jusuf, Hartono Rekso Dharsono ataupun Kemal Idris, meskipun dengan alasan dan ‘pemaknaan’ berbeda-beda satu sama lain.
Secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chairul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu. Tampaknya, ‘teori dalang’ atau yang semacamnya dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 ini, harus ditinggalkan.